| | By Dedi Mustofa on Mar 19, 2016 07:00 am PASBERITA.com - Majority (kelompok terbesar) dalam suatu wilayah sudah sepatutnya mengambil alih tampuk kekuasaan dalam bidang apapun, termasuk dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tidak ada ceritanya di dunia ini minoritas bisa memimpin mayoritas, apapun itu alasannya sebab sudah menjadi hukum alam (sunnatullah). Di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, maka wajib hukumnya untuk mengangkat pemimpin di sana (presiden, raja, kaisar dan lain-lain) adalah umat Islamnya. Demikian pula jika di negeri atau wilayah yang mayoritasnya non muslim, maka berlakulah hukum yang sama (azaz keadilan). Tidak bisa diabaikan dan tak bisa dibolak-balik. Pengabaian terhadap "hukum" ini sama saja artinya dengan melakukan pelecehan dan merendahkan suara kaum mayoritas, akibatnya tentu saja akan menimbulkan konflik yang cukup fatal. Lihat saja contohnya di Philipina, dari masa ke masa yang menjadi Presidennya adalah warga Katholik karena mereka merupakan mayoritas di sana. Di Italia, Jepang, India, China serta di beberapa negara lainnya juga menerapkan hukum yang sama. Belum pernah terjadi di negara-negara tersebut sebuah kelompok minoritas bisa menjadi orang nomor satu, takkan pernah bisa dan jangan pernah bermimpi. Begitupun di negara kita tercinta, Republik Indonesia. Mayoritas penduduknya (bahkan terbesar di seluruh dunia) adalah umat Islam (muslim), maka sudah selayaknya dan memang suatu kewajiban untuk mengangkat salah satu dari umat Islam terbaiknya ini sebagai pemimpinnya. Meskipun dalam tatanan kehidupannya, negara kita menganut falsafah "bhinneka tunggal ika" (berbeda-beda namun tetap satu jua). Akan tetapi dalam hal memilih calon pemimpin, masalah mayoritas-minoritas tetap tak bisa diabaikan begitu saja. Dan bersyukur sekali bahwa ketujuh Presiden RI sampai saat ini semuanya adalah muslim, walaupun ada di antara mereka belum termasuk kategori muslim "terbaik"nya. Tapi tak mengapa, karena untuk mencapai sebuah tujuan yang ideal memamg perlu proses serta waktu yang panjang. Paling tidak Indonesia sudah mampu menerapkan "hukum alam" tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Lantas bagaimanakah dengan wilayah atau daerahnya, bagaimanakah penerapannya? Tentu saja juga diberlakukan hukum yang sama. Contohnya di Bali, dari mulai gubernurnya sampai tingkat yang paling bawah adalah umat Hindu karena mereka merupakan mayoritas di sana, kecuali di beberapa desa mayoritasnya ada yang selain dari Hindu. Contoh lain di Papua, lantaran agama Kristen/Katholik mayoritas di sana maka sudah sewajarnya jika pemimpin mereka pun adalah dari kaum yang beragama tersebut. Coba saja tanyakan langsung atau lakukan survey di beberapa wilayah yang penduduknya mayoritas (Bali, Papua, Aceh, dan lain-lain) tentang kriteria calon pemimpin ini. Apakah mau atau bersedia masyarakarat Bali dipimpin oleh umat selain beragama Hindu, misalnya Islam, Kristen atau Budha? Tentu saja jawabannya sudah dapat kita tebak, bahwa mereka tidak akan pernah mau. Demikian juga di Papua, Aceh dan sebagainya, maukah mereka dipimpin oleh yang selain dari kelompok mayoritas mereka? Dan lagi-lagi jawabannya pasti akan sama : tidak bersedia. Mengapa? Karena begitulah hukum alamnya, mau tidak mau, ikhlas ataupun terpaksa. Dan begitu seterusnya untuk daerah-daerah lainnya, termasuk juga Ibukota kita Jakarta. Kita semua tahu bahwa sampai hari ini mayoritas penduduk Jakarta adalah beragama Islam (muslim) dan suku terbesarnya adalah Betawi. Meskipun saat ini masyarakat Betawi banyak yang sudah keluar (terpinggirkan/tersingkirkan) dari wilayah Ibukota ini, dengan berbagai cara dan alasannya. Namun untuk memilih calon pemimpin (gubernur, walikota dan seterusnya) tetap harus mengacu kepada ketentuan (konvensi) di atas. Dengan kata lain, sangat wajar apabila yang menjadi pemimpin disana juga kelompok mayoritasnya yang dalam hal ini adalah umat Islam. Ini tidak bisa dibantah dan ditawar-tawar lagi. Lalu bagaimanakah dengan penduduk minoritasnya? Yah sudah, harus maklum dan tahu dirilah. Sebagaimana juga ketika umat Islam menjadi minoritas di sebuah wilayah, maka mereka juga harus "tahu dan sadar diri". Jangan pernah memaksakan kehendak, karena begitulah hukum alamnya. Yang terpenting adalah harus tetap saling menghargai, menghormati serta melindungi (mengayomi) satu sama lainnya. Jangan sampai terjadi mayoritas menindas minoritas, atau yang lebih parahnya lagi minoritas justru menindas mayoritas (gubrak...!!!). Dan sepanjang catatan sejarah di dunia ini, belum pernah sekalipun terjadi ketika Islam menjadi mayoritas dalam suatu wilayah/negara, maka kaum minoritas disana akan tertekan dan tertindas. Minoritas yang berada dalam kelompok mayoritas Islam dijamin hidupnya akan aman, nyaman dan damai. Sebaliknya sudah banyak fakta sejarahnya ketika Islam menjadi minoritas dalam suatu wilayah/negara, maka seringkali umatnya mengalami perlakuan yang tidak adil serta tidak manusiawi (kekerasan dan penindasan) baik dari masyarakatnya maupun dari aparat yang berkuasa disana. Begitula realitanya, ada banyak fakta yang tak bisa dibantah. Namun pada dasarnya Islam adalah agama yang cinta damai, bukan agama yang mengajarkan kekerasan atau terorisme kepada penganutnya. Oleh: Ria Dahlia
Read in browser » Recent Articles:
| | | | | |
Posting Komentar