| | By Rie on Dec 30, 2015 10:03 pm Oleh: Kang Ewa
Buatku, perayaan terhadap sebuah kekalahan terbaik dalam dunia sepakbola hanyalah milik suporter Irlandia. Stadion Gdansk, Polandia, menjadi saksi bagaimana kehebatan para suporter Irlandia menyublim kekecewaan mereka, akibat tim kesayangan yang diidamkan luluh lantak dihantam Spanyol dengan skor tertinggal 4-0.
Pertandingan hanya menyisakan tujuh menit lagi, para Suporter Irlandia sepertinya sadar betul bahwa kekuatan memang tidak berimbang. Tim Spanyol yang berisikan materi bintang pemenang Piala Dunia bukan tandingan untuk para pemain nasional mereka. Disana, aku melihat secara utuh bagaimana sebuah kebanggaan dan dukungan diejawantahkan. Bukan hanya dukungan atas segala kemenangan, melainkan dukungan saat harus merasakan pahit dan tangis bersama.
Aku terkesiap tatkala tiba-tiba sebuah folk ballad berjudul The Fields of Athenry berkumandang dari seisi tribun. Bahkan ternyata bukan hanya aku, para suporter Spanyol, hingga komentator pun menghentikan keriuhan. Lagu bernuansa kepedihan itu terus berkumandang, sementara di tengah lapangan bola, para pemain Irlandia masih berjuang sekuat tenaga untuk setidaknya tidak menderita dengan gol tambahan. Sebuah perayaan terhadap kekecewaan yang dikemas dengan sangat elegan.
The Fields of Athenry, folk ballad ciptaan Pete St. John tahun 70-an, memang mengisahkan cerita pilu tentang seorang lelaki bernama Michael, yang terpaksa mencuri jagung demi memberi makan anak-anak dan istrinya akibat krisis pangan yang parah di Irlandia. Malangnya, Michael tertangkap dan dibuang ke Botany Bay, Australia. Kepada Marry, Sang Istri, Michael mengatakan bahwa tak ada yang membahagiakan hatinya, kecuali melihat istrinya itu membesarkan anak-anak mereka dengan penuh martabat.
Demikianlah lagu pilu ini dinyanyikan oleh para suporter Irlandia, sebagai bentuk kebersamaan, atas kegetiran yang menimpa, atas persamaan nasib yang pedih tak terperikan. Meski harus menanggung kekalahan, mereka menyatakan diri untuk saling memapah dalam kebersamaan.
Nun jauh dari Gdansk, aku juga melihat perayaan kekalahan yang sangat menyejukan, bahkan mengharukan, dari seorang lelaki berusia senja. Pak Maridi namanya. Sejatinya ia lelaki istimewa, lelaki satu kampung kami tak ada yang mampu menandinginya dalam soal kehadiran di Surau untuk mendirikan Sholat. Selalu lebih cepat dari yang lain, serta pulang selalu lebih lambat dari jamaah lainnya juga.
Namun memang, tingginya kuantitas dan kualitas ibadah tak serta merta seiring dengan perbaikan pada sisi ekonomi. Begitu juga dengan kondisi keuangan Pak Maridi. Mungkin itu pula ujian dari Allah swt untuknya. Di usia yang menginjak tujuh dasawarsa, hari-harinya diisi dengan bekerja serabutan. Kadang bekerja sebagai kuli bangunan, kadang hanya menjadi buruh di ladang warga untuk sekedar menyiangi rerumputan dan benalu. Kehidupan keluarganya memang tidak dapat dikatakan miris, namun tetap saja, taraf kehidupannya tak bisa dikatakan cukup.
"Kekalahan" Pak Maridi adalah saat Surau kami akan melakukan renovasi. Sejatinya ia berharap dapat dilibatkan dalam pembangunan itu, "minimal liber (pembantu tukang)-lah. Buat membantu biaya dapur," katanya padaku.
Namun apa mau dikata, keputusan rapat pembangunan mengatakan bahwa tukang dan pembantunya dibawa dari luar dengan status borongan. Jadi tidak satu pun yang terlibat dalam proses pembangunan ini dari warga kami, kecuali para Pengurus Surau sebagai pemantau.
Betapa kecewanya Pak Maridi, Surau yang setidaknya lima waktu dalam sehari ia kunjungi, justru para Pengurusnya tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk turut bekerja. Bahkan pernah satu kali aku bertanya kepada Ketua Pembangunan dan memintanya mempekerjakan Pak Maridi. "Terlalu sepuh, Kang. Kasihan," demikian jawabnya.
Ketika hasil usahaku kusampaikan kepada Pak Maridi, ia termangu. Tampak sekali raut kecewa dari wajahnya. Aku menangkap ada luka, sebongkah perasaan tidak puas menguasai dadanya. Ia menunduk bermuram durja.
Aku sedikit menerka-nerka apa yang akan dilakukannya beberapa hari ke depan. Bisa saja kekecewaan membawanya pindah Sholat ke Masjid lain, atau bahkan, bisa jadi ia memilih mundur dari Surau, mendirikan Sholat di rumahnya sendiri, dalam ruang kamarnya yang sepi.
Dugaanku ternyata meleset. Suatu malam menjelang pagi, ketika waktu baru menunjukan pukul 04.15. Kudengar lapat lantunan bacaan Al Qur'an diperdengarkan. Rasa kepenasaranku memuncak, bergegas aku menuju Surau, kujumpai Pak Maridi sedang bersila di menghadap mushaf Al Qur'an yang diletakan di atas meja.
"Gasik (cepat datang), Pak," ucapku berbasa basi setelah ia mengakhiri bacaannya.
"Iyo, Kang. Semoga bisa bersyukur atas nikmat Allah swt," ungkapnya.
Aku termenung. Bukankah baru kemarin sore lelaki ini merasakan "luka" yang teramat dalam? Bukankah baru kemarin sore ia merasakan "kekalahan" yang mengecewakan? Ah, sepagi ini dia sudah hadir di Surau, berkata tentang syukur pula kepada Allah swt.
Luar biasa! Pak Maridi bagiku merupakan orang yang sangat cerdas dalam merayakan sebuah kekecewaan. Ia menyublim segala getir jiwanya ke dalam dzikir-dzikir panjang. Ia mengobati luka hatinya dalam balut lantunan Al Qur'an. Tak ada kalimat satir dari mulutnya, tak ada tindakan emosional yang ia tunjukan. Pak Maridi, lelaki kecil itu menjelma menjadi besar di hadapanku. Bukan besar dalam arti ragawi, melainkan besar dalam bentuk jiwa yang terang dan tenang.
Perlahan, kembali dalam ingatanku koor panjang The Fields of Athenry di Gdansk Stadium dari para suporter Irlandia. Disini, di tanahku, aku menemukan persamaannya. Sebuah persamaan tentang bagaimana cara merayakan kekecewaan.
Lapat tergurat dalam ingatanku sebait syair berbunyi, "Low lie the fields of athenry, where once we watched the small free birds fly, Our love was on the wing, We had dreams and songs to sing, It's so lonely round the fields of athenry.... ". Sebuah syair tentang pesan terakhir Michael kepada anak dan istrinya, syair pilu... The Fields of Athenry yang kini lekat dalam bayang Pak Maridi. (*)
Petropolis, 30 Desember 2015
Read in browser » By redaksi pasberitacom on Dec 30, 2015 08:24 pm PASBERITA.com - Sebagai pengelola bandara untuk wilayah barat Indonesia, PT Angkasa Pura (AP) II siap untuk melakukan kerjasama dan membantu pengembangan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati di Kabupaten Majalengka. Menurut Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), keberadaaan PT AP II akan memberikan manfaat bagi pengembangan BIJB Kertajati ke depannya.
"Secara umum opsi (kerjasama) terbuka, karena kehadiran AP II pasti bermanfaat untuk menjamin keberlangsungan BIJB ke depan. Detailnya nanti, seperti apa kerjasama tersebut kita serahkan kepada kedua manajemen (BIJB dan AP II). Akan ada pertemuan lebih lanjut untuk menyepakati kerjasama secara detail," ungkap Aher usai pertemuan dengan pihak Direksi PT AP II di Gedung Sate - Kota Bandung, pada Rabu (30/12).
"Nanti AP II siap membantu dan siap bergabung," tambah Aher.
Aher pun mengatakan tahapan pembangunan BIJB Kertajati hingga kini terus berlangsung dan menurutnya tidak ada proses keterlambatan. Sementara ketika ditanya mengenai groundbreaking, Aher mengaku pihaknnya masih menunggu kepastian dari Presiden.
"Groundbreaking tentu menunggu jadwal dari Presiden, ya. Tim Presiden dan Perhubungan sudah ada. Mudah-mudahan bisa Januari, tergantung jadwal dari beliau (Presiden)," kata Aher.
Sementara itu, ditemui usai pertemuannya dengan Aher, Presiden Direktur PT Angkasa Pura II Budi Karya Sumadi mengataKan bahwa pihaknya tetap memberikan komitmen untuk membantu dan kerjasama dalam pengembangan BIJB Kertajati.
"Kita kan sebagai salah satu partner yang tentunya dilibatkan. Kita akan melihat proses (kerjasama) itu terjadi," ujar Budi kepada para awak media.
BIJB Kertajati banyak menarik investor baik dalam maupun luar negeri. Pada tahapan market sounding beberapa waktu lalu ada 40 perusahaan yang berminat untuk menanamkan investasinya, termasuk perusahaan dari Turki, Jerman, Qatar, China, Korea, dan Swiss. (*)
Read in browser » Recent Articles:
| | | | | |